BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran
Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan
umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh
dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa
dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan
al-Qur`an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang
sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena
itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna
yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir
dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran
itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an
serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam makalah yang singkat ini
penulis berusaha membahas tentang pengertian tafsir, sejarah perkembangan
tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-kitab tafsir berbahasa indonesia
syarat-syarat seorang mufassir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian tafsir
2.
Sejarah perkembangan tafsir
3.
Bentuk, metode dan corak tafsir
4.
Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5.
Syarat-syarat seorang mufassir
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian tafsir
2.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir
3.
Untuk mengetahui bentuk,
metode dan corak tafsir
4.
Untuk mengetahui kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5.
Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mufassir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,
berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam
firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣) وَلا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).
Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama,
antara lain sebagai berikut :
1.
Abu Hayyan,
menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut,
baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang
melengkapinya.
2.
Az-Zarkasyi,
menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.
3.
Az-Zarqani,
menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari
segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh
Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi
ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu
Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan
penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan
masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar
belakang pedidikan, sosial budaya yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan
corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para
sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah
IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan
beberapa cara, antar lain.
1.
Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an
satu sama lain saling menafsirkan.
2.
Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi
beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
3.
Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu
dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para
sahabat berijtihat dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap
tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu
ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan
kekuatan penalaran mereka sendiri.
4.
Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya
sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada
tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah
ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih
merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis
seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa
sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan
pembahasannya pun belum luas dan mendalam.
Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in)
meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada
penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita.
Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad.
Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah
mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin)
hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab
sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam
perkembangan selanjutnya tafsir
dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama
mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in
dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf.
Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal
pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi
al-ma’tsur.
Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa
Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur,
karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk
tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan
dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini
kemudian dikenal dengan at-tafsir
bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa
meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak
pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini
mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti
ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul
fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir
bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu
sendiri.
C.
BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR
1.
Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian perkembangan tafsir
diatas, dari segi bentuk dikenal dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :
a.
Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat
atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari
kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam
menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa
lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena
banyak mennggunakan riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi
ar-riwayah.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat
adalah firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman
ayat 13. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ
لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya:
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk
Nabi seperti dalam contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat
atau tabi’in seperti dalam penafsiran maksud kalimatin dalam Surat
Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ
هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya:
“Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati,
ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan bahwa ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi, dan wa la
adh-dhallin adalah Nashara.
b.
Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan
mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an
dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali
penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan
bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah,
ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain
sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan
memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
2.
Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran
yaitu:
a.
Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena
sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali
atau global.
Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai
dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan
mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh
bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan
merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu
sendiri.
b.
Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan
menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an
nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan
kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan
sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c.
Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau
perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara
(1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, atau memilki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
d.
Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode
maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali dan tahlili
yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan
ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas
ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema
tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am
dan khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad,
mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh
dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
3.
Corak Penafsiran Al-Qur’an
Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal
juga corak pnafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah
pemikiran musafir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari
sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran beragam sesuai latar
belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam
ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang
secara harfiah berarti warna. Dalam bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab
digunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara
lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam,bentuk. Menurut hemat
penulis, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah
at-tafsir bi-ar-ra’yi di atas warna dasar itu ada warna warni lain yang
beragam, dan itulah corak. Corak itu sekalipun menunjukkan faham penulisannya,
macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a.
Corak Sastra Bahasa
Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang
memelukagama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri
dibanding sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka
tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.
b.
Corak Fiqih dan Hukum
Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan
terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan
kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap
ayat-ayat hukum.
c.
Corak Teologi dan atau Filsafat
Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat
yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama
lain ke dalam Islam yang dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai
beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat
setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
d.
Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi
dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan.
e.
Corak Penafsiran Ilmiah
Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha
mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
f.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan
Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat,
dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti tetapi indah didengar.
Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Qur’an sepanjang
zaman sampai zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir telah berjasa
menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang
masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir baik dari segi
disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan keragaman
persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yag muncul sepanjang
waktu pun mempunyai bentuk, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian,
sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti sau sama lain saling berbeda
sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang dipertautkan sambung bersambung, selalu ada
bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah
yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.
D.
KITAB-KITAB TAFSIR BERBAHASA INDONESIA
Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya
berbahasa Indonesia tentang Al-Qur’an, baik berupa terjemhan Al-Qur’an dengan
beberapa anotasi di mana perlu maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian
atau keseluruhannya.
Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana
perlu antara lain:
1.
Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
2.
A. Halim hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim (1955);
3.
Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4.
Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
5.
Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983);
6.
Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
(1975).
Dalam bentuk
tafsir Al-Qur’n sebagaian atau keseluruhannya, antara lain:
1.
Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
2.
Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
3.
M. Hashbi ash- Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952) dan
Tafsir Al-Bayan (1962);
4.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);
5.
Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
6.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an (2000).
E.
SYARAT-SYARAT SEORANG MUFASSIR
Para ahli dan ulama’ mensyaratkan agar setiap mufassir memenuhi
hal-hal sebagai berikut:
1.
Memiliki aqidah yang benar
2.
Tidak dikuasai nafsu ananiya, ’asabiyah dan lain-lain
3.
Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya
4.
Mengetaui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an
5.
Faham secara mendalam dan dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan
nash syari’ah.
KESIMPULAN
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara
terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud
ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam
definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani
bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut
sebatas kemampuan manusia.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para
sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah
IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama
Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing:
Yogyakarta
kurang lengkap
BalasHapussaya suka
BalasHapussaya suka ini ,thank you bnget islamiyah2931.atas bantuannnya moga berkah sllu dech program ini yang dibuat .
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapus